Rabu, 13 Juni 2012

Jerman Kurang "Berisik"

Jerman Kurang "Berisik"

Zurich: Dua windu sudah Timnas Jerman paceklik gelar di turnamen besar. Terakhir kali, Die Mannschaft merebut titel juara Euro 1996 yang berlangsung di Inggris. Di babak pamungkas, Jerman mengalahkan kuda hitam Republik Ceska 2-1 (1-1) lewat golden goal yang diciptakan striker pengganti Olivier Bierhoff.

Salah satu sosok kunci di balik kemenangan Jerman saat itu adalah defender Matthias Sammer yang bertugas sebagai sweeper atau orang terakhir di lini pertahanan yang berdiri di belakang dua bek sentral. Buktinya, tak lama kemudian, Sammer menyabet gelar Pemain Terbaik Eropa 1996. Gelar bergengsi terakhir yang diakusisi pemain Jerman.

Dengan jabatan yang disandangnya sebagai Direktur Teknik di Asosiasi Sepakbola Jerman (DFB) sejak 2006, Sammer pantas dimintai komentar dan evaluasinya terkait peluang skuad asuhan Joachim Loew di putaran final Euro 2012 yang berlangsung di Polandia-Ukraina, 8 Juni sampai 1 Juli 2012. Tanpa ragu, Sammer menilai Mesut Ozil dkk berpeluang besar menjadi juara Eropa.

Berikut wawancara FIFA.com dengan Sammer.
Siapa idola Anda?
Franz Beckenbauer, pemain yang luar biasa. Atau Gerd Muller. Dua-duanya idola saya.

Euro 2012 tinggal menghitung hari. Apakah Anda kembali memikirkan turnamen 1996 di Inggris?
Tak perlu jujur saya katakan jika saat ini saya lebih konsen dengan kegagalan Jerman memetik kemenangan di partai penting. Tidak diragukan lagi jika perkembangan sepakbola Jerman, baik dari timnas yunior, klub, dan terlebih timnas senior, sangat positif. Tapi, faktanya, dalam beberapa partai penting, kami selalu gagal meraih kemenangan. Contohnya, Piala Eropa U-17 (Jerman kalah adu penalti dari Belanda di babak final Piala Eropa U-17 2012) dan Liga Champions (Bayern Muenchen dipecundangi Chelsea juga lewat adu penalti).

Anda dikenal sebagai pemimpin di lapangan. Sosok itulah yang kini hilang dari Timnas Jerman?
Begini. Dalam benak saya, untuk meraih kesuksesan, sangat penting bagi tim kehadiran sosok seorang pemimpin. Itulah yang menjadi pekerjaan rumah kami berikutnya. Saya yakin jika kali ini skuad Jerman telah mempunyai pemain dengan gen yang tepat (untuk meraih gelar juara). Kami hanya tinggal mengaktivitasinya saja. Tapi, di atas segalanya, kami mesti menyadari jika beberapa perbedaan (pendapat) justru bakal menjadi komponen yang sangat penting bagi tim itu sendiri. Saya tidak berbicara soal egoisme, tapi menggunkan stimulus tertentu dengan tujuan membantu tim. Saya tidak tahu apa yang terjadi saat ini. Namun, di masa lalu, perbedaan atau perselisihan sangat diinginkan dan kerap didorong oleh pelatih.

Seperti halnya pada 2010, kali ini para pemain Bayern Muenchen tampil di turnamen besar setelah kalah di final Liga Champions. Benarkah itu jadi faktor minus bagi Jerman?
Anda bisa lihat sendiri jika kegagalan itu masih memengaruhi Bastian Schweinsteiger. Ia merasa sangat bertanggung jawab atas kekalahan itu. Saya pikir, hal itu justru baik. Ia akan mengubah fokusnya ke Euro.

Dapatkan pemain Bayern mengambil sisi positif dari kekalahan lawan Chelsea?
Publik selalu berpikir Jerman hanya memikirkan kemenangan. Tapi, sejatinya itu keliru. Juara sejati lahir dari kekuatan setelah menelan kekalahan. Mereka butuh untuk merasakan jika mereka mampu meraih sesuatu. Itulah yang perlu mereka lakukan.

Akankah Jerman (kembali) jadi juara Eropa?
Tentu saja, iya. Kami dapat meraihnya. Tapi, kami butuh untuk membuktikannya. Semua persyaratan kami miliki, tim yang sangat bagus, pelatih yang sangat pintar, dan staf tim yang selalu siap mendukung. Pertanyaannya, mampukah mereka mengatasi kesulitan yang dihadapi? Sebab, di setiap turnamen pasti muncul kesulitan. Jika mereka berhasil mencari solusi, maka mereka benar-benar punya peluang besar (menjadi juara).

Perbedaan para pemain muda di masa lalu dan sekarang?
Kiwari pengaruhnya benar-benar lain. Namun, yang saya lihat, saat ini keinginan mereka untuk meraih kemenangan sangat kuat, level profesionalismenya juga mengesankan. Meski demikian, di sisi lain, ada yang kurang dari mereka yaitu interaksi satu sama lain. Saat sekarang, mereka lebih senang menyibukkan diri (berinteraksi) dengan teknologi baru dan jejaring sosial ketimbang dengan rekan setimnya sendiri. Saya tak melihat mereka bercanda satu sama lain.

Saya perhatikan betul hal ini. Sebab, tim Jerman benar-benar pendiam. Di dalam bus, mereka tak akan mempermasalahkan bisingnya suara musik. Tapi, mengapa mereka tidak berteriak satu sama lain di lapangan? Dalam kasus tertentu, saat pertandingan, komunikasi antarpemain sangat kurang. Jadi, ada yang hilang dari mereka, seperti keberanian, kegilaan dan emosionalitas. Sejauh ini kami belum berhasil memecahkannya. Saya pun tidak punya solusi ajaib. Namun, itulah yang kami bakal perhatikan dengan saksama.

Problem itu terjadi di Jerman atau lebih luas?
Jujur saya, saya harus mengatakan ketika kami tampil di turnamen yunior (U-20 dan lainnya), kami (tim Jerman) menjdi tim yang paling diam. Lebih berisik bukan berarti Anda otomatis bakal meraih kemenangan, tapi ada situasi dimana kegembiraan emosional sangat membantu (peluang tim). Kami harus memikirkan soal itu.

Anda kira Mesut Ozil bisa menyabet gelar FIFA Ballon d’Or?
Saya pikir sejumlah pemain Jerman punya kapasitas untuk menyabet gelar itu. Salah satunya Ozil. Tapi, jujur saja, trennya penghargaan itu bakal diberikan kepada pemain dari satu tim yang meraih gelar juara di turnamen besar. Tidak selalu memang, tapi seringkali itu terjadi. Itu yang jadi faktor penentunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar